SELAMAT DATANG SEMOGA BERMANFAAT

Rabu, 29 Oktober 2008

Wanita Sebelum Datang Islam

Oleh : Nablurrahman

Pernahkah membayangkan jika kita, sebagai perempuan, hidup pada zaman sebelum datangnya Islam? Masa dimana manusia berada pada kekosongan dakwah para rasul dan rusaknya garis-garis kehidupan. Masa yang kemudian Islam mengistilahkannya dengan masa "jahiliyah“.
Tentu saja membayangkannya saja kita tidak sanggup. Bagaimana tidak, bangsa Arab pada masa jahiliyah sangat tidak suka dengan kehadiran perempuan. Berbagai faktor menjadi alasannya. Diantaranya, karena dianggap lemah dalam ingatan, lemah fisik dan setumpuk kelemahan lainnya.
Tentu saja ini bukan cerita yang tiada bukti alias omong kosong. Al Qur'an dan Hadits banyak menjelaskan tentang hal ini. Betapa tidak mengenakkan jika kita hidup pada masa itu. Bahkan mungkin, kita tidak akan bertahan hidup. Mari kita tengok masa itu ...



1. Anak perempuan tidak memiliki hak hidup.
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa ia dibunuh?“ ( QS At Takwir 8-9 ). Lantas apa yang membuat mereka demikian keji? Hal ini tidak lain hanyalah berangkat dari mitos dikalangan mereka, bahwa kalau anak perempuan lahir akan membawa kecelakaan.
2. Memiliki anak perempuan adalah kehinaan.
Pada masa jahiliyah, bila ada anak perempuan yang lolos bisa hidup, maka ia pun hidup tanpa dihargai eksistensinya.
“Dan apabila seseorang diantara mereka dikaruniai (kelahiran) anak perempuan, murunglah wajahnya dan ia sangat jengkel penuh kemarahan. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, lantaran buruknya apa yang diterimanya. Adakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kenistaan ataukah akan menguburkannya (hidup-hidup) ke dalam tanah? Ketahuilah, betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu. ( QS An Nahl : 58-59 )
3. Wanita haid dianggap najis.
Pada masa jahiliyah, apabila seorang wanita sedang haid, maka ia dianggap kotor/najis sehingga harus diasingkan, tidak boleh berkumpul bersama keluarga dan tidak boleh makan bersama.
4. Wanita dianggap “harta“
Apabila seorang suami meninggal maka istrinya menjadi harta warisan, sebagaimana harta yang lainnya. Dalam tradisi agama Hindu, ditemukan pemahaman bahwa orang tua boleh menjual anak perempuannya. Perempuan tidak mendapat hak waris, bahkan kalau suaminya meninggal, ia dianjurkan ikut membakar diri dalam kayu yang membara bersama suaminya (disebut acara sati).
5. Ketika dinikahi, seorang istri harus rela bersanding dengan istri-istri lain yang jumlahnya tidak dibatasi dan tidak berhak untuk merasakan kenyamanan hidup dalam rumah tangga. Sementara kaum laki-laki bebas mencerai dan mencampakkan perempuan kapan saja. Bahkan, ia bebas menjual istrinya kepada orang lain.Sebuah data yang sangat mencengangkan, pada tahun 1937 di Cina, setidaknya 2.000.000 perempuan berstatus budak.
Nah, apa jadinya andai saja fajar Islam tidak datang? Akan seperti apakah nasib kita, para perempuan, saat ini? Ahh, membayangkannya saja kita sudah tidak sanggup...

Jumat, 24 Oktober 2008

AISHA

Berdasarkan kisah nyata… hanya namanya yang berubah. tidak ada maksud menggurui. hanya ingin mengenang. dan semoga kalian semua ingat apa yang sudah para pahlawan lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia."

Sastro terbaring di atas ranjang berbalut seprai putih sambil bersenandung. Cucu perempuannya tampak membaringkan kepalanya di sisi kakeknya ikut menikmati nyanyiannya walaupun gadis kecil itu jelas tidak mengenal lagunya. Sekali lagi, si cucu menyodorkan sebuah Juz Amma untuk kakeknya. Sastro hanya tersenyum, tahu akan apa yang bakal dikatakan cucunya.

“Ayo kek, Aisha ajarin baca Al-Fatihah ya” pintanya polos dengan mata berharap.
“lagi? Kemarin kan sudah…” elak Sastro dengan nada bercanda, walau suaranya terdengar parau, akibat tubuhnya yang kian melemah.
“kemarin kan kakek belum selesai bacanya” protes Aisha sebal.
“kakek ngantuk Aisha, kakek kan sakit” elak Sastro lagi kemudian langsung membalikkan tubuhnya pura-pura mendengkur.
Aisha tidak melanjutkan protesnya, dia percaya kakeknya benar-benar tidur. Gadis kecil itu berjinjit untuk mencium kening kakeknya dengan sayang.
“maafin Aisha ya udah ganggu kakek, met bobo” Sastro tetap pura-pura tidur.
Sebenarnya Sastro sudah sejak lama hafal Al-Fatihah, bahkan hampir seluruh isi Al-Quran dia hapal. Bukankah dulunya dia seorang guru ngaji sebelum masuk tentara? Sastro serta merta teringat peristiwa lalu, kejadian pahit yang telah merubah hidupnya.
Aceh, 1953.
Peristiwa DI/TII, dimana sekelompok ekstrimis sedang memperjuangkan terwujudnya Indonesia sebagai negara Islam. Cuaca ketika itu mendung dengan angin berhembus kencang. Tampak para pejuang kedaulatan Indonesia sedang berpatroli di sekitar barak mereka yang sederhana.
Pakaian mereka tampak lusuh bersaput debu mesiu serta darah yang mengering. Janggut dan rambut juga dibiarkan tumbuh tanpa dicukur. Sastro ketika itu berpangkat letnan, sepuluh orang tentara muda menjadi tanggung jawabnya. Bedil senantiasa di tangan dan mata selalu awas berjaga.
“sudah enam hari” kata rekannya yang bernama Basri sambil memainkan pisau.
“kau rindu dengan istrimu?” ledek Sastro.
“ngaco kamu, aku hanya kangen merokok, mulutku sepat rasanya” elak Basri.
“di belantara begini mana ada yang menjual rokok” tanggap Sastro terkekeh.
“aku ingin mencari di rimbunan semak sana. Pasti ada pohon tembakau walaupun cuma sebatang” kata Basri menunjuk sekumpulan tanaman lebat tak tertembus cahaya.
“tapi lumayan jauh dari perkemahan kita, berbahaya kalau kamu pergi sendiri” cegah Sastro yang ditanggapi Basri dengan tawa.
“sudah berapa tahun kau jadi tentara? tahukah kau berapa kali peluru nyaris membunuhku? Bah! Takdir di tangan Allah! Sudahlah kalau kau begitu khawatir kau ikut saja denganku” sahut Basri.
Sastro memandang kawan-kawannya yang tampak berjaga. Terbesit perasaan ragu dalam dirinya. Memang bukan sekali ini dia ikut berperang. entah berapa kali dia nyaris mati dalam perjuangannya. Tapi kali ini entah mengapa hatinya terasa berat sekali untuk mengikuti Basri.
“kau mau ikut tidak?” Tanya Basri lagi. Dia akhirnya memutuskan untuk ikut. Sastro tahu Basri keras kepala, kalau sahabatnya mati, Sastro tidak akan pernah memaafkan dirinya. Siapa tahu para pemberontak itu akan membunuh Basri ketika dia sendirian.
Benar kata basri, beberapa batang pohon tembakau tampak tumbuh tegar di sana. Basri mengincar daun-daun yang sudah mengering, agar bisa langsung dilinting untuk dibakar.
“ah nikmatnya” Basri menghela kepulan asap racun keluar dari paru-parunya. Baru saja mereka berpikir untuk kembali ke barak. Tiba-tiba terdengar samar suatu letusan senjata. Pertanda markas mereka tengah diserang.
“Bedebah!” maki Basri sambil melemparkan lintingan tembakau yang susah payah dia dapatkan. Sastro gemetar karena firasatnya terbukti. Teman-temannya dalam bahaya.
Dan ketika mereka kembali ke tenda semua sudah terlambat. Sastro meraung murka karena para musuhnya berhasil kabur. Gerilyawan pemberontak itu juga meninggalkan tanda mata untuk Sastro dan tentara lain yang tersisa. Kepala-kepala tanpa tubuh, ditancapkan pada ruas-ruas bambu menghiasi tenda mereka.
“mereka datang dengan pasukan yang tiga kali lipat lebih banyak dari kita” seorang anak buahnya menyeret tubuhnya yang terluka untuk melaporkan kejadian tadi kepada atasannya.
Sastro memeluk tubuh-tubuh tak bernyawa itu dengan air mata berlinang. Sementara Basri dan prajurit lain yang tersisa mencoba menenangkannya.
“Ini perang Sastro…” Rintih Basri.
“tidak hanya kita yang kehilangan, mereka juga…” tambah yang lain walau semua itu tidak berpengaruh bagi Sastro.
Sastro mengelilingi perkemahan, menyaksikan mimpi buruk yang paling dihindarinya. Mayat-mayat bergelimpangan, kepala terpenggal, usus berhamburan.
Sastro tidak habis pikir. Mereka Islam, tapi mereka tersesat terlampau jauh. Sebagai mantan guru ngaji dia sangat mengerti aturan peperangan. kalau mereka memang memahami kitab suci mereka tidak mungkin berani menyiksa musuhnya sedemikian rupa. Mereka seharusnya tahu kalau jiwa mereka yang membunuh di peperangan karena amarah dan nafsu tidak akan diterima di surga. Sastro gelap mata. Pikirannya tertutup amarah.
“aku tidak mau Sholat lagi! Aku tidak mau disamakan seperti mereka!” Teriaknya berulang-ulang.
“Astaghfirullah Sastro..Istighfar” ujar Basri untuk menenangkannya. Tapi otak Sastro sudah lebih dulu tersaput dendam.
Jakarta, 1999.
Sastro meneteskan air mata. Dia kini sudah menjadi kakek renta yang sedang menunggu ajal. Tubuh yang dulunya tegap berisi kini tinggal tulang berbalut kulit. dia takut mati. Dosanya terlampau besar. Dia malu terhadap sang pencipta.
Salah seorang anaknya mendekati ranjang. Dialah ibu dari Aisha. Gadis kecil yang tidak pernah jera meminta kakeknya mengaji.
“pak…” putrinya memandangnya lekat-lekat, ingin memulai pembicaraan. Tampak matanya sembab seperti habis menangis.
“dokter bilang umur bapak tidak lama lagi kan?” tebak Sastro. Putrinya menggeleng lemah.
“dokter tidak bilang begitu, dia hanya bilang kalau bapak sakit parah dan sulit diobati”
“itu sama saja” tanggap Sastro sambil tersenyum pahit. Kepalanya tiba-tiba pening. Pandangan matanya mengabur seakan ada ribuan kunang-kunang mengitari dirinya. dia lalu mengenang hidupnya yang tidak pernah membosankan.
Selama sisa hidupnya sastro dikenal sebagai orang yang baik. Dia tidak pernah mabuk-mabukan. Dia tidak pernah main perempuan. Dia selalu berkurban setiap Idul Adha. Dan Entah sudah berapa Mushola di Jakarta yang terus berdiri dan kokoh berkat sumbangan darinya.
Satu yang Sastro sesali adalah dia tidak pernah Sholat. Rasa ego dan janji bodohnya di masa lalu yang menyatakan tidak mau lagi menginjak sajadah membuatnya malu terhadap Sang Pencipta. Dia takut ibadahnya tidak diterima. Kini dia bahkan hampir lupa bagaimana caranya Sholat.
“pak…” sapa putrinya yang segera membuyarkan lamunannya.
“bapak belajar Sholat ya?” lanjut putrinya. Sastro cukup terkejut, karena selama ini putrinya seakan tidak pernah mempermasalahkan keislamannya. Sastro diam saja.
“bapak sudah tahu dari dulu kan kalau mereka yang membunuh anak buah bapak secara sadis waktu perang dulu, sebenarnya adalah orang-orang yang tidak paham sama agamanya sendiri?” Sastro terbatuk, dia terkejut.
“kamu kok tahu nak?” Tanya Sastro. Putrinya hanya tersenyum menenangkan.
“beberapa tahun lalu pak Basri pernah cerita sama Lala, bapak jangan terus mendendam. Bapak jangan terpengaruh sama masa lalu. Percayai hati nurani bapak saja…” ujar Lala putrinya sabar. Sastro kembali membisu selama beberapa detik.
“Bapak malu nak…” kata sastro akhirnya. Sebelum Lala sempat menanggapi. Pintu kamar Sastro terbuka. Dan masuklah Aisha, gadis kecil yang terus meneror Sastro selama beberapa tahun ini.
“eh kakek udah bangun, sini Aisha ajarin baca Al-fatihah” Sastro merasa kehangatan tiba-tiba merayap di tubuhnya.
“boleh, tapi ajarinnya pelan-pelan ya” Sastro berharap, ketika ajalnya menjemput. Dia bisa pergi dengan perasaan bangga.

Senin, 20 Oktober 2008

KESEHATAN

Menurut penelitian terbaru mandi ternyata tidak hanya baik untuk membersihkan tubuh dari kotoran dan menjauhkan stress, tapi mandi juga memiliki peranan penting meningkatkan sistem kekebalan, membantu kulit terhindar dari penyakit seperti eksema dan bahkan menyembuhkan masalah medis serius.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine menunjukkan penderita diabetes yang menghabiskan hanya setengah jam berendam dalam bak air hangat dapat menurunkan tingkat gula darah sekitar 13 persen.
Penelitian terpisah di Jepang menunjukkan 10 menit berendam dalam air hangat dapat memperbaiki kesehatan jantung baik pria maupun wanita, membantu mereka menjalani test olahraga lebih baik dan mengurangi rasa sakit.
Apa manfaat mandi dan berapa lama anda sebaiknya mandi? Berikut beberapa petunjuk mandi asyik dan menyehatkan:

Mengeluarkan racun
Mandi air hangat sekitar 32-35 derajat Celsius membuka pori-pori yang dapat membantu mengeluarkan toksin. Mandi air hangat juga dapat membantu menurunkan tingkat gula darah, menyembuhkan sakit otot dan membantu menjaga usus besar bekerja dengan baik. Waktu yang dianjurkan selama 10-20 menit.
Stress
Jika anda benar-benar mengalami stress, mandi air dingin akan menjadi jawaban yang tepat. Temperatur yang dianjurkan sekitar 12-18 derajat Celsius. Mandi air dingin sangat baik meredakan ketegangan, sebaliknya dari air hangat karena mandi air dingin dapat mempersempit darah dan meningkatkan tingkat gula darah.
Eksema
Penyakit kulit tertentu seperti eksema, ruam atau gatal-gatal dengan menambahkan baking soda (sodium bicarbonate) ke dalam bak mandi dapat membuat perbedaan besar. Sodium bicarbonate bertindak sebagai antiseptik. Isi air dengan air hangat kuku, tambahkan kira-kira satu pound baking soda dan aduk sampai rata. Dianjurkan berendam selama 10-20 menit.
Infeksi
Infeksi yeast seperti sariawan dapat dibantu dengan menambahkan tiga atau empat cuka dari sari buah apel ke dalam bak mandi. Ini juga baik untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh karena cuka dapat menyeimbangkan kembali asam. Tambahkan pada air hangat dan berendam selama 15-20 menit.
Flu dan Sakit Kepala
Merendam kaki dalam air hangat dapat membantu menyembuhkan flu dan sakit kepala dan juga menyegarkan kembali kaki yang lelah. Masukan air hangat secukupnya dalam bak sampai menutupi kaki dan pergelangan kaki tambahkan beberapa tetes minyak seperti lavender, peppermint atau lemon. Setelah selesai basuh dengan air dingin. Lakukan selama 10-20 menit.
Insomnia
Merendam kaki dalam air dingin sangat baik bagi anda yang memiliki masalah insomnia atau mereka yang memiliki masalah tidur. Masukan kaki sampai kaki merasa dingin. Pengobatan ini juga berguna bagi kaki lelah, pendarahan hidung, flu dan sembelit.
Sirkulasi
Cobalah merendam kaki secara bergantian antara air hangat dan air dingin jika anda mengalami masalah sirkulasi. Mulai dengan merendam kaki selama satu atau dua menit dalam air hangat, kemudian 30 menit dalam air dingin. Cobalah lakukan selama 15 menit kemudian diselesaikan dengan air dingin.